Monthly Archives: Maret 2012
Jembatan Gantung, Kali Klawing , Sindang, Mrebet, Purbalingga
Suasana di Jembatan Gantung Kali Klawing yang berada di Desa Sindang-Mrebet-Purbalingga. Saat ini di area ini sedang di buat sebuah bendungan untuk kepentingan irigasi. Kabarnya. yang di anggar pekerjaan tersebut membutuhkan waktu yang tidak sedikit yaitu dianggar selama 4th.
Tempat ini memang menarik serta indah untuk dipandang tak heran jika setiap harinya bahkan dari pagi sampai sore ada saja yang menunjunginya dengan tujuan untuk rekreasi, atau menikmati indahnya suasana alam yang sejuk.
ssiippp
Sebagai kelas “Panglima perang” sebuah motor sport harusnya tidak boleh mempunyai kekurangan…walau ada ungkapan tidak ada yang sempurna didunia ini….New Mega pro sebagai pendatang baru yang langsung meledak jualannya karena masih masuk Klan Megapro harusnya mendapat perbaikan ..apa saja itu..??
Lihat pos aslinya 384 kata lagi
Biografi Ali Bin Abi Tholib & Peristiwa Yang Terjadi Pada Masanya
TUGAS
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
“Biografi Ali Bin Abi Tholib & Peristiwa Yang Terjadi Pada Masanya”
Oleh :
Nama : Sobikhin
NIM : 082338099
JUR/Prodi : PAI / NR-A2
Tugas ini dibuat guna memenuhi tugas terstruktur mata kuliyah
“ Sejarah Kebudayaan Islam”
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PURWOKERTO
TAHUN 2012
A. BIOGRAFI ALI BIN ABI THOLIB
1. Ayahnya adalah: Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, ‘Uqail, Ja’far dan Ummu Hani.
Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat.
2. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda:
“Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu.”
Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.
3. Nama Aslinya adalah Haidarah yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.
4. Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Rasulullah Saw. Seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Ia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang ia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka maupun hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja’far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan Taqiyyah.
Keturunannya yang mulia, selanjutnya mengalir dari Hasan, Husain, Muhammad bin Hanafiah, Umar dan Abbas. Karena kecintaan dan penghormatannya yang mendalam terhadap sahabat Nabi yang mulia, dan yang telah dijanjikan masuk surga, maka ia menamakan beberapa orang anaknya dengan nama-nama mereka, yaitu: Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Abu Bakar, anaknya, terbunuh bersama Husain dalam peristiwa Karbala. Anak ini merupakan anak dari isterinya, Laila bin Mi’waz. Sementara anaknya Utsman yang dilahirkan dari isterinya Ummu Banin, juga terbunuh dalam perisitwa Karbala. Sedangkan Umar adalah anaknya dari Ummu Habib ash Shahba.
Saat imam Ali mendapatkan mati syahid, ia meninggalkan empat orang isteri yang merdeka, yaitu: Umamah, Laila, Ummu Banin dan Asma bin ‘Umais. Serta delapan belas orang hamba sahaya wanita.
Jumlah seluruh anak lakinya adalah lima belas orang, dan anak perempuannya adalah delapan belas orang.
Ø Kelahirannya
Fathimah binti Asad melahirkan anaknya, Haidarah (Ali KW), di Ka’bah, pada dua puluh satu tahun sebelum hijrah. Ada yang mengatakan, pada tahun ke tiga puluh dua dari kelahiran Rasulullah saw. Ia adalah anak bungsu dari kedua orang tuanya, selain Ja’far, Uqail dan Thalib. Saat Abu Thalib mengalamai krisis ekonomi karena kekeringan yang melanda, seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah saw menyarankan kepada kedua pamannya: Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringankan beban saudaranya, Abu Thalib, dengan menanggung biaya hidup anaknya. Maka keduanya pun memenuhi permintaan tersebut. Mengetahui hal itu, Abu Thalib berkata kepada kedua saudaranya tersebut,: “Ambillah siapa yang kalian ingini, namun tinggalkanlah Uqail, untuk tetap aku didik.” Uqail adalah anak yang paling disayangi oleh Abu Thalib. Maka Abbas mengambil Thalib, Hamzah mengambil Ja’far dan Rasulullah saw mengambil Ali KW.
Adalah Nabi Saw bagi anak keponakannya, Ali KW, bertindak sebagai bapak, saudara, teman, dan guru pendidik. Dan Ali pun menerima beliau pengganti kedua orang tua, dan keluarganya. Sehingga ia pun terdidik dalam didikan Nabi Saw. Ia Merupakan keturunan puncak keluarga Hasyimiah, yang darinya terlahir kemuliaan, kedermawanan, sifat pemaaf, ksaih sayang dan hikmah yang lurus.
Seperti diriwayatkan, ia tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.
Ø Isteri-isterinya:
setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin Rabi’ bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas’ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti ‘Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja’far bin Abi Thalib, dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa’d ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba’ah bintih Imri’il Qais al Kulabiyyah.
Ø Sifat-sifatnya:
a. Sifat Fisik
Imam Ali KW adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma’rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.
Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.
b. Sifat Watak/kejiwaan
Ali bin Abi Tholib adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan. Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.
Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari’at.
Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.
Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.
Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah ‘anak’ dari kritik. Dan ia adalah ‘anak’ dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.
Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.
Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.
Ia berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi. Itu emua adalah cermin dari percaya dirinya, keimanannya, dan keyakinanya terhadap Rabb-nya, lantas bagaimana mungkin ia menjadi lembek?
Ia dengan teguh menolak sikap yang tidak sesuai dengan kebenaran, atau syari’ah, atau akhlak atau kemuliaan. Jiwanya yang mulia menolak untuk menipu seorang gubernur yang senang berkuasa, dan yang menghamburkan kekayaan umat untuk kepentingan hamba nafsunya. Ia tidak tidak peduli dengan orang yang membenci, atau orang yang memusuhinya. Menurutku, ia adalah sifat orang yang kuat, baik dalam kepribadiaannya, pendapatnya dan dalam memegang kebenaran.
Barangkali ada yang berpikir bahwa ia telah bersikap lunak dalam peristiwa tahkim (arbitrase). Namun menurutku, dugaan seperti itu adalah suatu kebodohan. Imam Ali KW tidak bersifat lembek, namun ia lebih mementingkan persatuan umat. Karena orang-orang yang ikut bersidang saat itu sedang berada dalam kubu-kubu yang saling berbeda pendapat. Maka ia memilih untuk keluar dari kondisi terburuk menuju kondisi yang buruk. Ia telah menegaskan hal itu, dan memberi peringatan kepada para pengikutnya. Namun ternyata orang-orang yang berada di sekitarnya tenggelam dalam perdebatan tanpa ujung dan pertikaian tanpa henti. Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang memilukan.
Rasa kasih sayang dalam hatinya-lah yang mendorong dirinya untuk bersikap lunak dan tidak keras. Hal itu ia lakukan karena ingin menyelamatkan orang lain, sehingga ia rela meletakkan dirinya dalam bahaya. Ia rela untuk menebus nyawa orang yang ia kasihi, atau kelompok orang yang beriman, atau beberapa orang yang sedang diincar oleh musuh, dengan nyawanya. Sehingga diapun bersikap lunak, dan meminta jalan yang lebih baik. Agar kasih sayang mengalahkan kecemburuan, kecintaan mengalahkan kekerasan, dan menjauhkan orang-orang yang ia sayangi dari kebinasaan. Orang yang membaca apa yang ia pinta kepada Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Abdullah, niscaya akan mengetahui bahwa keduanya telah menghianatinya, dan memeranginya. Maka iapun mengecam keduanya, dengan kecaman seorang penyayang terhadap orang yang ia sayangi. Ia mengingatkan keduanya tentang janji-janji yang pernah mereka ucapkan, dan kebersamaan mereka dalam menegakkan kalimat Allah SWT. Apa yang ia lakukan saat terjadi bentrokan yang terjadi antara dirinya dan Aisyah menjadi bukti akan ketinggian sifat kasih sayangnya, kemuliaan perasaannya, dan usahanya yang keras untuk memadamkan tanda-tanda ambisi rendahan, yang tidak layak bagi tokoh besar seperti dirinya, juga bagi tokoh mulia semacam Aisyah r.a. Oleh karena itu, ia berusaha melakukan negosiasi yang hanya dapat dilakukan oleh orang besar semacam dirinya, yaitu para mujahidin yang mulia.
B. PERISTIWA YANG TERJADI PADA MASANYA
1. PARA AMIR DI DAERAH PADA SAAT TERBUNUH UTSMAN RA.
Di Kufah, Abu Musa al-Asy’ari ditunjuk sebagai imam shalat, al -Qa’qa’ bin Amru sebagai amir jihad dan Jabir bin Amru al-Muzni sebagai ketua amil zakat dan pajak. Amir di Bashrah adalah Abdullah bin Amir. Amir di Mesir adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, namun kekuasaannya didominasi oleh Muhammad bin Abi Hudzaifah. Amir di Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan wakilnya untuk daerah Hims adalah Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid. Amir di Qinnasrin adalah Habib bin Maslamah. Amir di Yordania adalah Abul A’war bin Sufyan. Amir di Palestina adalah ‘ Alqamah bin Hakim958. Walikota di Adzerbaijan adalah al-Asy’ats bin Qais. Amir di Qarqisiya’ adalah Jarir bin Abdillah al-Bajali. Amir di Hulwan adalah Utaibah bin an-Nahhas. Amir di Mah adalah Malik bin Habib. Amir di Hamadzan adalah an-Nusair. Amir di Rayy adalah Sa’id bin Qais. Amir di Ashbahan adalah as-Saib bin al-Aqra’. Amir di Masbadzan adalah Hubaisy. Itulah amir-amir pada saat terbunuhnya Utsman berdasarkan yang disebutkan oleh Ibnu Jarir, mereka adalah pemimpin-pemimpin di daerah. Ketua baitul mal di Madinah saat itu adalah Uqbah bin Amru. Dan sebagai qadhinya adalah Zaid bin Tsabit
2. PENGANGKATAN AMIR-AMIR DI DAERAH OLEH ALI BIN ABI THALIB RA.
Memasuki tahun 36 H Ali binAbi Thalib ra. mulai menjalankan kekhalifahannya. Beliau mengangkat amir-amir di daerah. Beliau mengangkat Ubaidullah bin Abbas sebagai amir di Yaman. Mengangkat Utsman bin Hunaif sebagai amir di Bashrah. Mengangkat Umarah bin Syihab sebagai amir di Kufah. Mengangkat Qais bin Sa’ad bin Ubadah sebagai amir di Mesir. Mengangkat Sahal bin Hunaif sebagai amir di Syam menggantikan Mu’awiyah.
Maka Sahal pun berangkat menuju Syam, tatkala tiba di Tabuk ia berpapasan dengan orang-orang Mu’awiyah, mereka bertanya, “Siapakah anda?” “Aku adalah amir” jawab Sahal. “Amir di mana?” tanya mereka. “Amir di wilayah Syam” jawabnya. Mereka berkata, “Jika Utsman yang mengutusmu maka selamat datang, jika orang lain yang mengutusmu maka lebih baik anda kembali.” Sahal bertanya, “Apakah kalian telah mendengar apa yang terjadi?” “Tentu saja” jawab mereka. Maka Sahal pun kembali kepada Ali. Adapun Qais bin Sa’ad, penduduk Mesir berselisih pendapat tentang keamirannya, jumhur penduduk Mesir membaiatnya. Sebagian kelompok mengatakan, “Kami tidak akan berbai’at sehingga kami dapat membunuh para pembunuh Utsman.”
Demikian pula penduduk Bashrah, sebahagian dari mereka menolak berbai’at.
Adapun Umarah bin Syihab yang diutus sebagai amir untuk wilayah Kufah, maka dicegah oleh Thulaihah bin Khuwailid karena kemarahannya atas terbunuhnya Utsman. Kemudian Umarah kembali kepada Ali ra. dan menceritakan perihal di sana. Berkembanglah fitnah, semakin runyamlah masalah dan semakin runcing pula perselisihan. Abu Musa mengirim berita kepada Ali ra. tentang ketaatan penduduk Kufah dan bai’at mereka kecuali sedikit dari mereka.960
Ali ra. telah mengirim banyak sekali surat kepada Mu’awiyah namun Mu’awiyah tidak memberikan jawaban. Hal itu terus berlangsung hingga bulan ketiga terbunuhnya Utsman di bulan Shafar. Kemudian Mu’awiyah mengutus Thaumar bersama seorang lelaki untuk menemui Ali ra.. Keduanyapun masuk menemui beliau. Ali ra. berkata, “Berita apa yang kalian bawa?” Mereka menjawab, “Kami datang dari satu kaum yang hanya menghendaki Qishash. Mereka semua berputus asa, aku telah bertemu dengan enam puluh ribu orang tua mereka menangisi kepergian Utsman. Sedang dia berdiri di atas mimbar Damaskus.” Maka Alipun berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri kepadaMu dari darah Utsman.” Kemudian utusan Mu’awiyah keluar dari hadapan Ali ra.. Kaum Khawarij yang telah membunuh Utsman berhasrat menghabisi beliau. Dan mereka baru berhasil melampiaskan hasrat tersebut setelah berusaha keras.
3. TUNTUTAN TERHADAP DARAH UTSMAN
Setelah terbunuhnya Utsman , Mu’awiyah bin Abi Sufyan beserta sejumlah sahabat lainnya angkat bicara di hadapan manusia dan mendorong mereka agar menuntut darah Utsman dari orang-orang Khawarij yang telah membunuhnya. Para sahabat yang turut serta dalam tuntutan ini adalah: Ubadah bin Shamit, Abu Darda’, Abu Umamah, Amru bin Abasah962 dan para sahabat lainnya. Dari kalangan tabi’in: Syarik bin Khubasyah,963 Abu Muslim al-Khaulani, Abdurrahman bin Ghanm dan yang lainnya.964
Setelah selesai proses pembai’atan Ali ra., Thalhah, az-Zubair dan beberapa pemuka sahabat datang menemui beliau guna menuntut penegakan hukum dan menegakkan qishash atas kematian Utsman. Namun Ali ra. menyampaikan alasan kepada mereka bahwa kelompok pembangkang itu memiliki kekuatan yang besar. Dan tidak mungkin tuntutan itu dilakukan sekarang. Az-Zubair meminta kepada beliau agar diangkat menjadi amir di Bashrah. Az-Zubair berjanji akan membawa pasukan dari Bashrah untuk memperkuat barisan melawan kaumKhawarij dan kaum Arab Badui yang ikut bersama mereka dalam pembunuhan Utsman, Ali ra. berkata kepada mereka berdua, “Bersabarlah dulu, jangan paksa aku!”965
Kemudian Abdullah bin Abbas menganjurkan kepada Ali ra. agar tetap mempertahankan amir-amir yang dahulu ditunjuk oleh Utsman di daerah-daerah sampai stabilitas keamanan pulih kembali. Khususnya Mu’awiyah di wilayah Syam. Ibnu Abbas berkata kepadanya,” Aku khawatir ia akan menuntut darah Utsman bila anda mencopotnya.” Ali ra. berkata, “Aku tidak berpendapat demikian, akan tetapi berangkat-lah ke Syam, sungguh aku mengangkatmu menjadi amir di sana.” Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali ra., “Aku khawatir Mu’waiyah membunuhku karena menuntut balas kematian Utsman. Atau aku khawatir ia mengira aku diangkat menjadi amir karena aku ada hubungan keluarga denganmu. Akan tetapi tulislah surat kepada Mu’awiyah, berilah harapan dan janji untuknya.” Ali ra. berkata, “Demi Allah, hal itu tidak akan terjadi selamanya.” Abdullah bin Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, perang adalah tipu daya seperti yang dikatakan oleh Rasulullah saw.966 Demi Allah, sekiranya anda menuruti kata-kataku, niscaya aku akan menggiring mereka semua kepadamu.” Abdullah bin Abbas telah melarang Ali ra. agar jangan menerima saran sebagian orang yang membujuk beliau agar berangkat ke Iraq dan meninggalkan Madinah, akan tetapi Ali ra. menolak seluruh saran Abdullah bin Abbas967
4. Thalhah, az-Zubair dan ‘Aisyah ra. Berangkat ke Bashrah
Istri-istri nabi , para umahatul mukminin berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima hijriyah untuk menghindari fitnah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman , yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh manusia. Setelah dibai’atnya Ali ra. Dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau -yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi- adalah para pemimpin-pemimpinKhawarij yang telah membunuh Utsman.
Padahal Ali ra. sebenarnya sangat membenci mereka. Akan tetapi beliau menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil me-nguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Akan tetapi karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka menghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah. Kemudian Thalhah dan az-Zubair meminta izin kepada beliau untuk mengerjakan umrah ke Makkah. Ali ra. mengizinkan mereka berdua, lalu keduanyapun berangkat ke Makkah diikuti oleh banyak orang.
Kemudian datang pula Ya’la bin Umayyah dari Yaman -ia adalah amir di Yaman pada masa kekhalifahan Utsman-dengan membawa enam ratus ekor unta dan enam ratus ribu dirham. Bertepatan pula dengan kedatangan Abdullah bin Amir dari Bashrah, ia adalah wakil Utsman untuk daerah Bashrah. Maka berkumpullah di Makkah para tokoh dari kalangan sahabat dan para umahatul mukminin. ‘Aisyah ra. ra.. mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Utsman. ‘Aisyah ra. ra.. menyebutkan kelaliman orang-orang yang telah membunuh Utsman di tanah Haram dan di bulan Haram serta tidak mempedulikan kehormatan Rasulullah saw. mereka telah menumpahkan darah dan menjarah harta. Orang-orangpun menyambut seruan ‘Aisyah ra. ra.. dan bersedia mengikuti apa yang menurut ‘Aisyah ra. baik dan membawa maslahat.
Mereka berkata kepadanya, “Ke manapun anda pergi, kami akan ikut bersama anda.” Sebagian dari mereka berkata, “Mari kita berangkat ke Syam.” Sebagian dari mereka berkata, “Sesungguhnya Mu’awiyah bisa mengurus masalah di sana, sekiranya para pemberontak itu datang ke sana niscaya mereka akan kalah. Penduduk Syam pasti akan bersatu, karena tokoh-tokoh besar dari kalangan sahabat nabi di Syam bersama mereka.” Yang lainnya berkata, “Mari kita berangkat ke Madinah dan menuntut Ali ra. agar menyerahkan para pembunuh Utsman untuk diqishash.” Dan sebagian lainnya mengusulkan, “Lebih baik kita berangkat ke Bashrah untuk menggalang kekuatan di sana dengan kuda-kuda dan pasukan.968 Kita mulai dari sana dengan mencari para pembunuh Utsman.” Lalu mereka pun sepakat dengan usulan tersebut. Para umahatul mukminin lainnya menghendaki agar ‘Aisyah ra. ra.. ikut bersama mereka ke Madinah. Namun ketika orang-orang sepakat berangkat ke Bashrah mereka berkata, “Kami tidak akan pergi ke tempat lain selain Madinah.” Ya’la bin Umayyah menyiapkan rombongan. Beliau mengeluarkan enam ratus ekor unta dan enam ratus ribu dirham untuk keperluan rombongan. Abdullah bin Amir pun menyiapkan uang yang cukup banyak untuk keperluan rombongan. Pada saat itu Hafshah binti Umar ummul mukminin menyetujui pendapat ‘Aisyah ra. untuk berangkat ke Bashrah. Namun ia dilarang oleh saudara laki-lakinya, yakni Abdullah bin Umar.
Abdullah bin Umar menolak berangkat bersama mereka ke tujuan lain selain Madinah. Orang-orangpun menyertai ‘Aisyah ra. Dengan seribu pasukan berkuda, ada yang mengatakan sembilan ratus pasukan berkuda dari penduduk Madinah dan Makkah. Lalu banyak pula orang-orang lain yang ikut serta dalam rombongan ini. Sehingga jumlah mereka menjadi tiga ribu orang.
Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ra.. berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama ‘Askar yang dibeli oleh Ya’la bin Umayyah. Rombongan pun bergerak menuju Bashrah. Yang bertindak menjadi imam shalat atas perintah ‘Aisyah ra. adalah keponakan beliau, Abdullah bin az-Zubair.Sedang Marwan bin al-Hakam bertindak sebagai muadzin pada waktuwaktu shalat. Di tengah perjalanan pada malam hari mereka tiba di mata air bernama al-Hau’ab.
Anjing-anjing mengonggong menyambut kedatangan mereka di mata air itu. Demi mendengar gonggongan anjing ‘Aisyah ra. ra.. bertanya, “Apa nama mata air ini?” “Mata air al-Hau’ab” kata mereka. ‘Aisyah ra. ra.. memukul tangannya sendiri sambil berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Menurutku aku harus kembali.” “Mengapa?” tanya mereka. Beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. berkata kepada istri-istri beliau, “Duhai kiranya siapakah di antara kalian yang disambut oleh gonggongan anjing di mata air al-Hau’ab.” Kemudian ‘Aisyah ra. ra.. memukul kaki untanya dan menambatkannya. ‘Aisyah ra. berkata, “Kembalikanlah aku, kembalikanlah aku! Demi Allah akulah wanita (yang disambut gonggongan anjing) di mata air al-Hau’ab.” Kami telah mencantumkan hadits ini beserta sanad dan matannya dalam kitab Dalail an-Nubuwah.”
Orang-orang pun menambatkan unta mereka di dekatnya sehari semalam. Abdullah bin az-Zubair berkata kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyampaikan kepadamu bahwa mata air ini bernama al-Hau’ab telah berdusta. Mereka pun berangkat menuju Bashrah, ketika rombongan mendekati Bashrah ‘ Aisyah ra.. menulis surat kepada al-Ahnaf bin Qais dan orang-orang di sana mengabarkan bahwa ia sudah sampai di Bashrah. Utsman bin Hunaif mengutus Imran bin Hushain dan Abul Aswad ad-Duali untuk menemui ‘Aisyah ra. guna menanyakan maksud kedatangannya.
Ketika kedua utusan itu datang menemui ‘Aisyah ra. , keduanya mengucapkan salam dan menanyakan maksud kedatangan beliau. ‘Aisyah ra.menyampaikan kepada kedua utusan itu bahwa maksud kedatangannya adalah hendak menuntut atas tertumpahnya darah Utsman. Karena beliau dibunuh secara zhalim pada bulan Haram di negeri Haram. Beliau membacakan firman Allah: ” Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114).
Kedua utusan itupun meninggalkan ‘Aisyah ra. ra.. lalu menemui Thalhah dan bertanya kepadanya, “Apa gerangan tujuan anda kemari?” Thalhah menjawab, “Menuntut atas tertumpahnya darah Utsman.” Keduanya berkata, “Bukankah engkau telah membai’at Ali ra.?” Thalhah menjawab, “Ya, dibawah ancaman pedang di leherku. Aku tidak akan membatalkannya972 apabila ia tidak membiarkan kami menebus balas atas para pembunuh Utsman!” Lalu keduanya mendatangi az-Zubair, dan beliaupun mengucapkan seperti itu. Imran dan Abul Aswad kembali kepada Utsman bin Hunaif lalu menyampaikan kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, demi Rabb pemilik Ka’bah, telah tiba masa berperang dalam Islam.973 Coba lihat alternatif apakah yang terbaik untuk kita?” Imran berkata, “Demi Allah, hal itu akan menjebak kalian dalam peperangan yang panjang.” Kemudian Utsman bin Hunaif berkata kepada Imran bin Hushain, “Beri aku saran!”
Imran berkata, “Menghindarlah, sesungguhnya aku akan berdiam dalam rumahku atau aku akan duduk di atas untaku.”974 Utsman bin Hunaif berkata, “Aku akan menghadang mereka hingga Amirul Mukminin datang.” la pun menyerukan kepada manusia agar mengambil senjata mereka dan berkumpul di masjid. Mereka pun berkumpul lalu Utsman bin Hunaif menyuruh mereka agar bersiap-siap.
Ketika Utsman bin Hunaif berbicara di atas mimbar seorang lelaki bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, jika mereka datang dalam keadaan takut maka sungguh mereka datang dari negeri yang aman. Jika mereka datang untuk menuntut darah Utsman maka kita bukanlah pembunuhnya. Ikutilah kata-kataku, kembalikanlah mereka ke tempat asal mereka.”
Lalu bangkitlah al-Aswad bin Sarie’ as-Sa’di104 dan berkata, “Sesungguhnya mereka datang meminta pertolongan kepada kita untuk menangkap para pembunuh Utsman yang berasal dari kita maupun dari orang di luar kita.” Orang-orang pun menyorakinya. Tahulah Utsman bin Hunaif bahwa para pembunuh Utsman memiliki pendukung di Bashrah. Hal itu mengendorkan semangatnya. Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. tiba bersama rombongan yang menyertainya. Mereka berhenti di tempat bernama al-Mirbad975 sebelah atas dekat kota Bashrah. Maka keluarlah Penduduk Bashrah yang ingin bergabung bersama ‘Aisyah ra. ra… Utsman bin Hunaif keluar bersama pasukan dan berkumpul di al-Mirbad. Thalhah berbicara -beliau berada di sebelah kanan pasukan- mengajak orang-orang untuk menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Lalu diikuti pula oleh az-Zubair, ia mengatakan hal yang sama. Perkataan mereka berdua dibalas oleh sejumlah orang dari pasukan Utsman bin Hunaif. Bergejolaklah sekelompok orang dari kedua pasukan lalu mereka saling melempar batu. Kedua pasukanpun bersiap-siap dan kembali ke pangkalan masing-masing. Sebagian orang dari pasukan Utsman bin Hunaif keluar dan bergabung dengan pasukan ‘Aisyah ra. ra… Maka jumlah merekapun bertambah banyak jariyah bin Qudamah as-Sa’di datang dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, demi Allah terbunuhnya Utsman lebih ringan daripada keluarnya anda dari rumah anda dengan mengendarai unta ini untuk menghadapi senjata. Jika anda datang kepada kami sebagai orang yang taat maka kembalilah ke tempat anda semula. Jika anda datang karena dipaksa maka mintalah bantuan kepada orangorang untuk kembali.
5. Pecahnya Perang Antara Pasukan ‘Aisyah ra. dengan Wakil Ali bin Abi Thalib RA. di Bashrah
Hukaim bin Jabalah yang berada dalam pasukan Utsman bin Hunaif yang memicu pecahnya perang. Sementara pasukan Ummul Mukminin menahan diri dan enggan meladeninya. Lalu Hukaim menyerang mereka. Kedua pasukan saling berperang di mulut jalan. ‘Aisyah ra. ra.. menyuruh pasukan-nya agar menghindar ke kanan hingga mereka sampai di perkuburan Bani Mazin. Malam memisahkan antara kedua pasukan. Pada hari kedua, masing-masing pasukan keluar dengan tujuan berperang. Mereka pun terlibat dalam pertempuran yang sengit sampai menjelang sore hari. Orang-orang dari pasukan Utsman bin Hunaif banyak yang tewas, dan banyak pula orang yang cedera dan luka-luka dari kedua belah pihak.
Setelah letih berperang kedua pasukan pun setuju berdamai. Hanya saja beberapa orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman ra. dan para pendukung mereka telah menyelusup ke dalam pasukan. Jumlah mereka lebih kurang tiga ratus orang. Pemimpin mereka adalah Hukaim bin Jabalah -ia adalah salah seorang yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman ra.-, mereka keluar dan berperang. Salah seorang lelaki menebas kaki Hukaim bin Jabalah hingga putus. Hukaim merangkak lalu mengambil kakinya dan memukulkannya kepada lelaki yang telah menebasnya hingga lelaki itu terbunuh. Hukaim tewas dalam pertempuran tersebut bersama tujuh puluh orang yang mem-bunuh Utsman ra. Dan para pendukung mereka. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 5 Rabi’ul Akhir tahun 36 H. Peristiwa ini disebut juga dengan perang Jamal Shughra.977
6. ALI BIN ABI THALIB RA. KELUAR DARI MADINAH MENUJU IRAQ
Pada saat itu Ali bin Abi Thalib ra. sedang bersiap-siap menuju Syam. Ketika sampai berita tentang maksud Thalhah dan az-Zubair, beliau bangkit dan berkhutbah di hadapan manusia mengajak mereka keluar ke Iraq. Sebagian besar penduduk Madinah keberatan menyambut ajakan beliau, adapun sebagian lainnya menyambutnya. Asy-Sya’bi berkata, “Tidak ada yang ikut serta bersama Ali ra. dalam perkara ini kecuali enam orang sahabat peserta perang Badar, tidak ada yang ketujuh.”978 Ibnu Jarir dan ulama lainnya menyebutkan di antara tokoh sahabat yang menyambut ajakan Ali ra. adalah Abul Haitsam bin at-Taihan, Abu Qatadah al-Anshari, Ziyad bin Hanzhalah, Khuzaimah bin Tsabit. Mereka berkata, “la bukanlah Khuzaimah yang bergelar pemilik dua persaksian, karena ia wafat pada masa kekhalifahan Utsman ra.
Ali bin Abi Thalib ra. berangkat dari Madinah berjalan hingga tiba di Rabadzah980. Sebagai wakil di Madinah Ali ra. menunjuk Tammam bin Abbas, wakil di Makkah Qutsam bin Abbas. Peristiwa ini terjadi pada akhir bulan Rabi’ul Akhir tahun 36 H. Ali ra. keluar dari Madinah dengan membawa sembilan ratus pasukan. Abdullah bin Salam berpapasan dengan Ali ra. di Rabadzah. Ia memegang tali kekang kudanya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah keluar dari Madinah! Demi Allah jika anda keluar dari Madinah anda tidak akan kembali ke sana dan pusat kekuasaan kaum muslimin tidak akan kembali ke sana selamalamanya.” Sebagian anggota pasukan mencelanya, Ali ra. berkata, “Biarkan dia! Dia adalah sebaik-baik orang dari kalangan sahabat Nabi.” Al-Hasan bin Ali ra. mendatangi ayahnya dan berkata,”Aku telah melarangmu namun kamu tidak menurutinya. Kamu akan terbunuh esok secara tersiasia tanpa ada seorang pun yang membelamu!” Ali ra. berkata kepada puteranya itu, “Engkau masih saja merengek kepadaku seperti anak kecil. Apa laranganmu yang telah aku langgar?”
Al-Hasan berkata, “Bukankah aku telah menyarankan kepadamu sebelum terbunuhnya Utsman ra. agar keluar dari kota Madinah? Supaya Utsman ra. Tidak terbunuh sementara engkau berada di dalamnya sehingga orang-orang membicarakan atau mempersoalkannya? Bukankah aku telah menyarankan agar jangan membai’at orang-orang setelah terbunuhnya Utsman ra. sebelum wakil-wakil dari setiap daerah datang kepadamu untuk berbai’at? Dan aku telah menyarankan kepadamu agar tatkala wanita ini (maksudnya adalah ‘Aisyah ra. .) dan dua lelaki ini (maksudnya adalah Thalhah dan az-Zubair) keluar sebaiknya engkau duduk saja di rumah hingga mereka berdamai? Namun engkau melanggar semua saranku itu!?”
Ali ra. pun berkata kepadanya, “Adapun saranmu agar aku harus keluar dari Madinah sebelum Utsman ra. terbunuh, maka sesungguhnya kitapun dalam keadaan terkepung sebagaimana halnya beliau. Adapun bai’at yang kuterima sebelum wakil-wakil tiap daerah menyerahkan bai’atnya maka sesungguhnya urusan ini berada di tangan penduduk Madinah, aku tidak mau urusan ini tersia-siakan. Adapun aku duduk saja di rumah, sesungguhnya mereka telah pergi ke tempat tujuan mereka. Apakah engkau menghendaki aku seperti anjing hutan yang terkepung lalu diteriaki, ‘Merayaplah, merayaplah bukan di sini!’ Hingga ia melepaskan tumit kakinya lalu melarikan diri? Jika aku tidak menangani masalah yang harus kuselesaikan ini dan engkau menolongku untuk menyelesaikannya lalu siapakah lagi yang akan menanganinya? Biarkanlah diriku wahai puteraku!”
Setelah mendengar aksi yang dilakukan oleh mereka di Bashrah, Ali ra. menulis surat kepada penduduk Kufah dan mengutus Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far, isinya, “Sesungguhnya aku telah memilih kalian dari penduduk negeri lainnya. Aku sangat terkejut mendengar peristiwa yang terjadi. Jadilah kalian penolong dan pembela agama Allah, bergabunglah bersama kami, sesungguhnya kami hanya menghendaki perdamaian. Agar umat ini kembali bersatu dan saling bersaudara.” Kedua utusan inipun berangkat, lalu Ali ra. mengirim urusan ke Madinah agar mengambil persenjataan dan kendaraan yang dibutuhkan.
7. Khutbah Ali bin Abi Thalib ra.
Ali ra. berdiri di tengah kerumunan manusia dan menyampaikan khutbahnya, “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan Islam dan meng-angkat derajat kita dengannya. Dan Allah telah menjadikan kita bersaudara setelah kita hina, sedikit, saling membenci dan saling menjauhi. Umat manusia mempertahankan hal itu sampai dengan waktu yang dikehendaki Allah. Islam adalah agama mereka. Kebenaran tegak di antara mereka. Kitabullah adalah imam mereka. Hingga lelaki ini (yakni Utsman bin Affan) terbunuh di tangan orang-orang yang disesatkan oleh setan untuk menghembuskan api permusuhan di tengah umat ini. Ketahuilah, umat ini pasti berselisih sebagaimana perselisihan yang menimpa umat-umat sebelumnya. Kita berlindung983 kepada Allah dari keburukan yang akan terjadi. Dan hal itu pasti terjadi. Ketahuilah, umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Golongan yang paling buruk adalah golongan yang menisbatkan diri kepa-daku namun tidak mengikuti amal perbuatanku. Kalian telah menemukan dan melihatnya sendiri. Komitmenlah di atas agamamu dan ikutilah petunjuk nabimu. Ikutilah sunnah beliau.Tinggalkanlah masalah-masalah sulit kalian atasi, selesaikanlah dengan Kitabullah. Ambillah perkara-perkara yang dikenal dalam al-Qur’an dan tolaklah perkara-perkara yang tidak dikenal. Ridhailah Allah sebagai Rabb kalian, Islam sebagai agama kalian, Muhammad sebagai nabi kalian dan al-Qur’an sebagai hakim dan imam kalian.”
8. Perjalanan dari Rabadzah dan Mobilisasi Penduduk Kufah
Setelah berazam untuk bergerak dari Rabadzah, bangkitlah salah seorang putera Rifa’ah bin Rafi’984dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah yang engkau inginkan? Ke manakah engkau bawa kami?” Ali ra. menjawab, “Yang kami inginkan dan kami niatkan adalah perdamaian jika mereka menerimanya dan menyambutnya.” “Jika mereka tidak menyambutnya?” Tanyanya lagi. Ali ra. menjawab, “Kita biarkan mereka dengan alasan-alasan mereka dan kita berikan hak mereka dan kita bersabar.” “Jika mereka tidak merestui itu?” Tanyanya lagi. Ali ra. menjawab, “Kita biarkan mereka selagi mereka membiarkan kita.” “Jika mereka tidak membiarkan kita pergi?” Tanyanya lagi. Ali ra. menjawab, “Kita akan mempertahankan diri dari serangan mereka.” “Bagus kalau begitu!” Katanya. Kemudiah al-Hajjaj bin Ghaziyyah al-Anshari985 bangkit dan berkata, “Aku akan melakukan apa yang anda inginkan sebagaimana engkau telah mengatakan kepadaku apa yang aku inginkan. Demi Allah, aku akan menolong agama Allah sebagaimana Dia telah menyebut kami kaum Anshar.” Kemudian datang pula jama’ah dari suku Tha’i sewaktu Ali ra. berada di Rabadzah. Ada yang berkata kepada Ali ra., “Mereka adalah jama’ah yang datang dari Tha’i, ada yang ingin ikut serta bersamamu dan ada pula yang hanya ingin menyampaikan salam kepadamu.” Ali ra. berkata, “Semoga Allah membalas keduanya dengan kebaikan! “Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yangduduk dengan pahala yangbesar.” (An-Nisa 1: 95).
Mereka berkata, Maka Ali ra. pun bergerak dari Rabadzah dengan membawa pasukan, Ali ra. mengendarai unta merah dengan menggiring kuda yang berwarna hitam kemerah-merahan. Setelah tiba di daerah Faid986 datang menemui beliau jama’ah dari Bani Asad dan Tha’i, mereka menawarkan diri untuk membantu beliau. Ali ra. berkata, “Orang-orang yang ikut bersamaku sudah cukup.” Datang pula seorang lelaki dari penduduk Kufah bernama Amir bin Mathar asy-Syaibani. Ali ra. berkata kepadanya, “Berita apa yang engkau bawa?” Lalu ia menyampaikan peristiwa yang telah terjadi. Ali ra. bertanya kepadanya tentang Abu Musa al-Asy’ari. Ia berkata, “Jika engkau menghendaki perdamaian maka Abu Musalah orangnya, adapun jika engkau menghendaki pertempuran maka Abu Musa bukanlah orangnya.”
Ali ra. berkata, “Demi Allah, kami hanya menghendaki perdamaian dengan orang-orang yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami.” Ketika pasukan sudah sampai di Dzi Qar987 Utsman bin Hunaif, wali Bashrah, datang menemui beliau dan melaporkan kondisi di sana. Ali ra. berkata, “Engkau telah memperoleh kebaikan dan pahala.” Ali ra. bermukim di Dzi Qar menunggu jawaban surat yang dikirimnya melalui Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far. Kedua utusan ini membawa surat Ali ra. menemui Abu Musa al-Asy’ari. Atas perintah Abu Musa keduanya menyampaikan maksud kedatangan mereka di hadapan manusia namun tidak ada yang menyambutnya. Keesokan harinya, seseorang yang bijak datang menemui Abu Musa dan membujuk beliau agar bergabung bersama Ali ra. Dalam pasukan. Abu Musa menjawab, “Seharusnya pendapat ini diajukan kemarin, yang tersisa sekarang hanya dua perkara, berdiam diri yang merupakan jalan akhirat atau keluar yang merupakan jalan dunia.”
Akhirnya mereka memilih jalan akhirat dan tidak ada satu pun yang mengikuti ajakan. Maka marahlah Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far. Keduanya pulang menemui Ali ra. di Dzi Qar dan menceritakan apa yang telah terjadi. Ali ra. berkata kepada al-Asytar, “Engkau adalah utusan kami kepada Abu Musa, pergilah bersama Abdullah bin Abbas untuk menemui-nya.” Maka keduanya pun berangkat, lalu tiba di Kufah dan mengutarakan maksud mereka kepada Abu Musa. Keduanya meminta bantuan dari beberapa orang penduduk Kufah untuk membujuk Abu Musa. Abu Musa al-Asy’ari bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya sahabat Muhammad yang telah menyertai beliau lebih tahu tentang Allah dan RasulNya daripada orang yang belum menyertai beliau. Sesungguhnya kalian memiliki hak yang wajib kami penuhi dan aku akan memenuhinya dengan menyampaikan nasihat kepada kalian. Pendapatku, janganlah kalian memandang rendah Sultan dan jangan melangkahi perin-tahnya. Dalam menyikapi fitnah ini, orang-orang yang tidur lebih baik daripada yang terjaga, orang-orang yang terjaga lebih baik daripada yang duduk, orang-orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, orang-orang yang berdiri lebih baik daripada yang berkendaraan, orangorang yang berken-daraan lebih baik daripada yang berlari. Sarungkanlah pedang, copotkanlah mata panah, potonglah tali busur dan lindungilah orang-orang yang ditindas dan dizhalimi sehingga masalah ini selesai dan fitnah ini tersingkap.”
Maka Abdullah bin Abbas dan al-Asytar kembali kepada Ali dan menceritakan apa yang telah terjadi. Lalu Ali ra. mengutus al-Hasan dan Ammar bin Yasir. Keduanya berangkat ke Kufah lalu masuk ke Masjid. Abu Musa keluar dan menemui al-Hasan bin Ali ra. lalu memeluknya. Al-Hasan bin Ali ra. Berkata kepada Abu Musa, “Mengapa engkau menahan orang-orang untuk mengikuti kami? Demi Allah, kami hanya menginginkan perdamaian. Tentu tidak yang perlu dikhawatirkan dari orang seperti Amirul Mukminin!?”
Abu Musa berkata, “Engkau benar, ayah dan ibuku menjadi tebusannya! Akan tetapi orang yang dimintai nasihat haruslah amanah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk (dalam fitnah tersebut) lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berkendaraan.988 Sesungguhnya Allah telah menjadikan kita bersaudara dan telah mengharamkan darah dan harta kita. Sesungguhnya apabila fitnah datang maka akan samar kedudukannya, apabila pergi barulah menjadi jelas dan terang.” Al-Qa’qa’ bin Amir bangkit dan berkata, “Sesungguhnya yang benar adalah apa yang dikatakan oleh amir. 989Akan tetapi manusia harus memiliki pemimpin yang dapat menegur orang yang zhalim dan melindungi orang-orang yang dizhalimi. Dengan begitu urusan manusia akan beres. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. sedang menghadapi masalah.
Dengan penuh kearifan beliau mengajak kita. Dan beliau hanyalah menginginkan perdamaian, maka marilah kita bergabung dengan beliau.” Kemudian orang-orang pun saling angkat bicara lantas bangkitlah Ammar bin Yasir dan al-Hasan bin Ali ra. naik ke atas mimbar mengajak manusia untuk bergabung bersama Amirul Mukminin. Amirul Mukminin hanya menghendaki perdamaian di antara kaum muslimin. Lalu Amar mendengar seorang lelaki mencaci ‘Aisyah ra. ra..’. Amar berkata, “Diamlah kamu, demi Allah ia adalah istri Rasulullah saw. di dunia dan di akhirat. Akan tetapi Allah menguji kalian dengannya, untuk mengetahui apakah kalian taat kepada Allah atau taat kepadanya.” Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. 990
Hujr bin Adi bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, berga-bunglah bersama Amirul Mukminin! ” Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, danberjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41).
Orang-orangpun menyambut seruannya, hasilnya berangkatlah sem-bilan ribu personil bersama al-Hasan di darat maupun di sungai Tigris. Ada yang mengatakan jumlah personil yang berangkat bersama al-Hasan men-capai dua belas ribu orang. Mereka berangkat menemui Amirul Mukminin yang menyambut kedatangan mereka di Dzi Qar bersama sejumlah orang di antaranya adalah Abdullah bin Abbas, Amirul Mukminin menyambut hangat kedatangan mereka dan berkata, “Wahai penduduk Kufah, kalian telah ber-hadapan dengan raja-raja Ajam dan berhasil menceraiberaikan pasukan mereka. Aku mengajak kalian untuk ikut bersama kami menghadapi saudara-saudara kita dari Bashrah. Jika mereka kembali maka itulah yang kita harap-kan. Jika mereka menolak maka akan kita hadapi dengan lemah lembut kecuali bila mereka memulainya secara zhalim. Tidak akan kita lewatkan satu perkarapun yang membawa perdamaian melainkan akan lebih kita prioritas-kan daripada perkara yang membawa kerusakan insya Allah.” Maka merekapun berkumpul di Dzi Qar, di antara deretan tokoh yang bergabung bersama Ali adalah al-Qa’qa1 bin Amru, Sa’ar991 bin Malik, Hindun bin Amru, al-Haitsam bin Syihab, Zaid bin Shuhan, al-Asytar, Adi bin Hatim, al-Musayyib bin Najabah, Yazid bin Qais, Hujr bin Adi dan Iain-lain, sementara seluruh personil dari kabilah Abdul Qais menunggu Ali di antara Dzi Qar dan Bashrah.
9. Komunikasi Antara Ali ra. dengan Thalhah dan az-Zubair dan Kesepakatan Mereka Untuk Berdamai
Ali ra. mengirim al-Qa’qa’ sebagai utusan untuk menemui Thalhah dan az-Zubair di Bashrah mengajak mereka berdua untuk berdamai dan bersatu dan memperingatkan bahaya berpecah belah dan berselisih. Al-Qa’qa’ be-rangkat ke Bashrah dan pertama-tama ia menemui ‘Aisyah ra. ra.. Ummul Muk-minin RA. La berkata, “Wahai Ummul Mukminin, apa gerangang tujuan anda datang ke negeri ini?” “Hai bunayya, untuk mengadakan perdamaian di antara manusia!” jawab ‘Aisyah ra. Lalu al-Qa’qa’ meminta kepadanya agar mengirim seseorang kepada Thalhah dan az-Zubair agar bisa hadir bersamanya di situ. Singkat cerita keduanyapun hadir.
Al-Qa’qa’ berkata, “Aku bertanya kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah ra apa gerangan tujuannya datang ke negeri ini?” Ia menjawab, “Sesung-guhnya aku datang untuk mengadakan perdamaian di antara manusia.” Thalhah dan az-Zubair berkata, “Kami juga demikian.” Al-Qa’qa’ berkata, “Ceritakan kepadaku bagaimana bentuk perdamaian tersebut dan atas dasar apa? Demi Allah jika kami pandang baik tentu kita akan berdamai. Jika kami pandang mungkar kita tidak akan bisa berdamai.”
Thalhah dan az-Zubair berkata, “Para pembunuh Utsman ra., jika mereka dibiarkan berarti kita meninggalkan al-Qur’an.” Al-Qa’qa’ berkata, “Kalian telah menghabisi para pembunuh Utsman ra. Dari kalangan penduduk Bashrah. Sebelum menghabisi mereka kalian berdua lebih dekat kepada keistiqamahan daripada hari ini. Kalian telah menghabisi enam ratus orang dari mereka. Lalu membangkitkan kemarahan enam ribu orang yang menuntut balas terhadap kalian dan memisahkan diri dari kalian. Mereka keluar dari pihak kalian. Kalian menuntut Hurqush bin Zuhair, akan tetapi enam ribu orang melindunginya. Jika kalian membiarkan mereka maka kalian telah memperoleh seperti apa yang kalian harapkan. Namun jika kalian memerangi mereka maka mereka akan menimpakan atas kalian apa yang kalian khawatirkan. Dan kalian memecah belah urusan ini lebih parah daripada perdamaian yang ingin kalian usahakan dan kalian berkumpul kare-nanya.” Yakni tujuan yang kalian inginkan yaitu membunuh para pembunuh Utsman ra. adalah sebuah maslahat. Akan tetapi akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar. Sebagaimana halnya kalian tidak mampu menuntut balas atas darah Utsman ra. dari Hurqush bin Zuhair karena enam ribu orang membelanya dan menghalangi orang yang hendak membunuhnya, tentu alasan Ali ra. membiarkan para pembunuh Utsman ra. untuk sementara lebih berhak diterima. Karena beliau menunda penuntutan balas atas darah Utsman ra. sampai beliau dapat menguasai mereka. Karena tiap-tiap daerah masih berselisih dalam menentukan sikap.
Kemudian al-Qa’qa1 mengabarkan kepada mereka bahwa sejumlah pasukan dari Rabi’ah dan Mudhar telah bersatu untuk memerangi mereka disebabkan persoalan yang telah terjadi ini. Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ra.. berkata kepadanya, “Lalu bagaimana menurut pendapatmu?” Al-Qa’qa’ menjawab, “Menurutku solusi masalah ini adalah meredakan ketegangan! Jika keadaan sudah tenang barulah para pembunuh Utsman ra. Dapat diringkus. Jika kalian sepakat maka itu adalah alamat kebaikan, rahmat dan kemenangan. Jika kalian tidak sepakat dan tetap bersikeras maka itu adalah alamat keburukan dan lenyapnya kekuasaan ini. Utamakanlah keafiatan dan kesalamatan niscaya kalian akan memperolehnya. Jadilah kunci kebaikan sebagaimana halnya kalian dahulu. Janganlah bawa kami kepada bala sehingga kalian harus menghadapinya dan Allah membinasakan kita semua. Demi Allah aku mengutarakan maksud ini dan mengajak kalian kepadanya. Aku khawatir masalah ini tidak akan selesai hingga Allah menimpakan kemarahannya terhadap umat ini yang minim perbekalannya lalu terjadilah apa yang terjadi. Sesungguhnya masalah yang terjadi ini sangatlah besar. Bukan sekedar seorang lelaki membunuh seorang lelaki lainnya atau sekelompok orang membunuh seorang lelaki atau satu kabilah membunuh seorang lelaki!”
Mereka berkata, “Engkau benar, kembalilah! Jika Ali datang dengan membawa pemikiran seperti yang engkau utarakan niscaya urusan ini akan selesai.” Maka al-Qa’qa’ pun kembali kepada Ali dan mengabarkan apa yang terjadi. Ali ra. takjub mendengarnya. Orang-orang pun berharap perdamaian dapat diwujudkan. Sekelompok orang ada yang tidak suka dan sekelompok lainnya ada yang suka. ‘Aisyah ra. . mengirim berita kepada Ali ra. untuk menyampaikan bahwa sesungguhnya ia datang untuk berdamai. Maka kedua belah pihakpun bergembira menyambutnya. Lalu Ali ra. bangkit dan berkhutbah menyebutkan perkara jahiliyah, kerugian dan perangai-perangai jahiliyah. Lalu menyebutkan Islam, kebahagiaan para pemeluknya dengan persatuan dan jama’ah. Menyebutkan bahwa Allah telah mengumpulkan mereka sepeninggal Rasulullah saw. di bawah kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq . Kemudian setelah itu Umar bin al-Khaththab kemudian Utsman ra. .
Kemudian terjadilah malapetaka yang menimpa umat ini. Sebagian orang mengejar keuntungan dunia dan hasad terhadap orang-orang yang Allah beri nikmat atasnya dan atas keutamaan yang Allah karuniakan kepadanya. Lalu mereka ingin menolak Islam dan beberapa perkara lain di belakangnya. Akan tetapi Allah akan melak-sanakan ketetapanNya. Kemudian Ali ra. berkata, “Ketahuilah, esok hari aku akan berangkat maka berangkatlah bersamaku. Dan jangan ikut bersamaku orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman ra.!”
10. Para Pembunuh Utsman ra. Khawatir Perdamaian akan Terlaksana dan Usaha Mereka untuk Merusaknya
Ketika para sahabat sepakat berdamai dan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman ra. mendengar khutbah Ali ra, mereka khawatir atas keselamatan diri mereka. Maka berkumpullah sejumlah tokohnya, diantaranya al-Asytar an-Nakhai, Syuraih bin Aufa, Abdullah bin Saba1 yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sauda’, Salim bin Tsa’labah, Alba’ bin al-Haitsam dan Iain-lain bersama dua ribu lima ratus pendukung mereka. Tidak ada seorang-pun dari mereka yang berasal dari sahabat nabi. Mereka berkata, “Bagaimana pendapat kalian? Demi Allah Ali ra. lebih tahu tentang Kitabullah dan ia termasuk orang yang menuntut para pembunuh Utsman ra.. Dan ia lebih kuasa untuk meringkus kita. Dan ia telah mengatakan seperti yang kalian dengar sendiri. Besok ia akan mengumpulkan manusia untuk meringkus kalian. Sesung-guhnya yang mereka cari adalah kalian semua! Lalu apa yang kalian lakukan sedangkan jumlah kalian sedikit dibanding jumlah mereka yang sangat banyak!?”
Al-Asytar berkata, “Kita sudah tahu bagaimana sikap Thalhah dan az-Zubair terhadap kita, adapun sikap Ali ra. baru kita ketahui hari ini. Apabila mereka berdamai maka artinya mereka sepakat untuk menghabisi kita. Jika demikian adanya maka kita habisi Ali ra. seperti halnya Utsman ra., niscaya fitnah akan kembali bergejolak dan mereka akan membiarkan kita.”
Ibnu Sauda’ berkata, “Sungguh buruk pendapatmu itu! Seandainya kita menghabisi Ali ra. pasti habislah kita! Kita semua wahai para pembunuh Utsman ra. berjumlah dua ribu lima ratus orang. Sedang Thalhah dan az-Zubair bersama para pendukungnya berjumlah lima ribu orang. Kalian tidak akan mampu menundukkan mereka dan mereka sesungguhnya menginginkan kalian!”
Alba’ bin al-Haitsam berkata, “Biarkanlah mereka, marilah kita kembali dan berlindung di beberapa negeri dan mempertahankan diri dari orang yang menyerang kita.” Ibnu Sauda’ berkata, “Sungguh buruk perkataanmu itu! Demi Allah kalau begitu kita akan diburu-buru orang banyak.” Kemudian Ibnu Sauda’ -semoga Allah memburukkannya- berkata, “Wahai kaum, tidak ada kemenangan bagi kalian kecuali berbaur dengan orang-orang. Jika mereka bertemu maka nyalakanlah api peperangan di antara mereka. Jangan biarkan mereka berdamai! Orang-orang yang bersama kamu tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan diri. Sementara Thalhah, az-Zubair dan orang-orang yang bersamanya sibuk menuntut apa yang mereka kehendaki! Mereka akan menemukan apa yang tidak mereka sukai!”
Merekapun sepakat dengan ide tersebut lalu membubarkan diri semen-tara orang-orang tidak mengetahui ide busuk ini. Keesokan paginya Ali ra. berangkat menuju Bashrah dan bertemu dengan pasukan Bani Abdil Qais lalu bergabung bersama beliau hingga sampai di az-Zawiyah. Dari tempat itu mereka bergerak menuju Bashrah. Di lain pihak, Thalhah dan az-Zubair beserta para pendukungnya bergerak untuk menyambut Ali ra.. Lalu mereka berkumpul di istana Ubaidullah bin Ziyad.992 Kedua belah pihak mengambil posisi masing-masing. Pasukan Ali ra. lebih dahulu mengambil tempat, mereka berangsur-angsur tiba. Mereka bermukim di tempat itu tiga hari. Kedua belah pihak berganti-gantian mengirim utusan. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 36 H.
Sebagian orang mengusulkan kepada Thalhah dan az-Zubair agar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meringkus para pembunuh Utsman ra.. Mereka berdua berkata, “Sesungguhnya Ali ra. telah mengisyaratkan agar menenangkan persoalan ini. Kami telah mengirim utusan kepadanya untuk meng-adakan perdamaian.”
Ali ra. berkhutbah di hadapan manusia, lalu al-A’war bin Bunan al-Min-qari bangkit dan bertanya tentang keinginannya terhadap penduduk Bashrah. Ali ra. berkata, “Berdamai, memadamkan api fitnah, menyatukan manusia di atas kebaikan dan merapikan kembali barisan umat ini.” la berkata, “Jika mereka tidak menerima ajakan tersebut?”
Ali ra. menjawab, “Kita biarkan mereka selagi mereka membiarkan kita.” “Jika mereka tidak membiarkan kita?” tanyanya lagi. “Kita mempertahankan diri dari serangan mereka” jawab Ali ra.. “Apakah mereka punya hak dalam urusan ini sebagaimana hak yang kita miliki?” Tanyanya lagi. “Ya!” Jawab Ali ra. singkat. Lalu bangkitlah Abu Salamah ad-Dalani dan berkata, “Apakah tuntutan mereka terhadap darah Utsman ra. punya alasan jika mereka menghendaki keridhaan Allah dalam perkara ini?””Ya ada!” jawab Ali ra.. “Apakah anda punya alasan menunda tuntutan tersebut?” tanyanya lagi. “Ya ada!” jawab Ali ra. pula.
Abu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana keadaan kita dan keadaan mereka bila kita bertempur besok?” Ali ra. menjawab, “Aku berharap tidak satu pun korban yang jatuh dari pihak kita ataupun dari pihak mereka yang hatinya bersih karena Allah melainkan Allah memasukkannya ke dalam Surga.” Ali ra. berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, tahanlah tangan dan lisan kalian terhadap mereka! Jangan sekali-kali kalian bertindak mendahului kami! Sesungguhnya orang yang tergugat besok993 adalah yang tergugat pada hari ini.”
Lalu al-Ahnaf bin Qais datang bersama rombongannya dan bergabung bersama Ali ra.Sebelumnya ia telah berbai’at kepada Ali ra. di Madinah. Ceritanya, ketika ia tiba di Madinah saat itu Utsman ra. dalam keadaan terkepung. Ia bertanya kepada ‘Aisyah ra. ., Thalhah dan az-Zubair, “Jika Utsman ra. terbunuh, siapakah yang akan kubaiat?” Mereka berkata, “Berbai’atlah kepada Ali ra.!” Al-Ahnaf berkata, “Kemudian aku kembali kepada kaumku lalu sam-pailah berita yang lebih mengerikan dari yang kukira. Sampai-sampai orang berkata, ‘Aisyah ra. ra.. datang untuk menuntut darah Utsman ra.!’ Akupun bingung, siapakah yang harus kuikuti? Lalu Allah menunjukiku melalui hadits yang aku dengar dari Abu Bakrah994, ia berkata, ‘Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa bangsa Persia mengangkat puteri Kisra sebagai raja mereka beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita’.” Hadits ini asalnya terdapat dalam kitab Shahih al-Bukliari. Maksudnya, saat al-Ahnaf bergabung bersama Ali ra. bersama enam ribu pasukan artileri ia berkata kepada Ali ra., “Jika engkau mau aku akan berperang bersamamu, dan jika engkau mau aku akan melindungimu dari sepuluh ribu pedang!” Ali ra. berkata, “Lindungilah kami dari sepuluh ribu pedang!”
Kemudian Ali ra. mengirim utusan kepada Thalhah dan az-Zubair untuk menyampaikan, “Jika kalian sepakat menerima apa yang telah disampaikan oleh al-Qa’qa’ bin Amm, maka tahanlah hingga kami datang untuk mempelajari masalah ini.”
Kemudian Thalhah dan az-Zubair mengirim jawaban tertulis, “Kami sepakat atas perdamaian yang disampaikan oleh al-Qa’qa’.” Orang-orang pun merasa tenang jiwanya dan lega. Tiap-tiap orang bergabung bersama pasukannya. Keesokan sore Ali ra. mengutus Abdullah bin Abbas kepada mereka. Lalu mereka mengirim Muhammad bin Thalhah as-Sajjad.
Malam itu kedua pihak bermalam dalam keadaan baik-baik. Akan tetapi para pembunuh Utsman ra. melalui malam itu dengan seburuk-buruk keadaan. Mereka berunding dan sepakat untuk mengobarkan peperangan pada pagi buta esok hari. Mereka bangun sebelum terbit fajar, jumlah mereka sekitar dua ribu orang. Masing-masing kelompok bergabung bersama pasukannya lalu menyerang mereka dengan pedang. Setiap golongan bergegas menuju kaumnya untuk melindungi mereka. Orang-orang bangun dari tidurnya dan langsung mengambil senjata. Mereka berkata, “Penduduk Kufah menyerbu kami pada malam hari, mereka mengkhianati kita!”
Mereka mengira bahwa para penyerang itu berasal dari pasukan Ali ra.. Sampailah keributan itu kepada Ali ra., beliau berkata, “Ada apa gerangan dengan mereka?” Mereka menjawab, “Penduduk Bashrah menyerbu kami!” Maka kedua belah pihak mengambil senjata masing-masing, mengenakan baju perang dan mengendarai kuda-kuda. Tidak ada seorang pun yang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi996, itulah ketetapan Allah yang berlaku!
11. Pecahnya Pertempuran
Peperangan pun tidak dapat dielakkan, pasukan kuda saling berhadapan, para pejuang saling menyerang, api pertempuran semakin memuncak. Kedua pasukan saling berhadapan, pasukan Ali ra. berjumlah dua puluh ribu personil dan di sekeliling ‘Aisyah ra. ra.. dan orang-orang yang bersamanya berkumpul tiga puluh ribu orang. Sementara Saba’iyah pengikut Ibnu Sauda’ -semoga Allah memburukkannya- tidak henti-hentinya mengobarkan api peperangan. Penyeru yang ditugaskan Ali ra. terus berseru, “Hentikan! Hentikan!” Namun sayang tidak ada seorang pun yang mendengarkannya. Datanglah Ka’ab bin Suur Qadhi Bashrah dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, temuilah orang-orang, barangkali Allah mendamaikan mereka melalui dirimu!”
Maka ‘Aisyah ra. duduk di atas sedekupnya di atas unta dan mereka melindungi sedekup tersebut dengan pelindung. ‘Aisyah ra. pun maju dan berhenti di tempat yang mana ia dapat leluasa melihat pasukan yang tengah bertempur. Mereka saling terlibat baku hantam dan saling menyerang. Syiar mereka pada hari itu adalah tidak boleh menghabisi orang yang terluka dan tidak boleh mengejar orang yang lari.997 Walaupun demikian banyak sekali korban yang jatuh. Hingga Ali ra. Berkata kepada puteranya, al-Hasan “Wahai puteraku, alangkah baik sekiranya ayahmu mati dua puluh tahun sebelum hari ini!”998
Al-Hasan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukankah aku telah melarangmu dari hal ini?” Sa’id bin Abi Arubah meriwayatkan dari Qatadah dari al-Hasan dari Qais bin ‘Ubad ia berkata, “Ali ra. berkata pada peperangan Jamal, ‘Wahai Hasan, alangkah baik sekiranya ayahmu mati dua puluh tahun sebelum hari ini’.” Al-Hasan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukankah aku telah melarangmu dari hal ini?” Ali ra. berkata, “Wahai anakku, aku tidak menyangka persoalannya sampai seperti ini!”
Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari al-Hasan dari Abu Bakrah, ia bercerita, “Ketika perang Jamal semakin memuncak dan Ali ra. melihat kepala-kepala berjatuhan, Ali ra. memeluk puteranya, al-Hasan, ke dadanya kemudian berkata, “Inna lillah, wahai Hasan! Kebaikan apa yang diharapkan setelah hari ini?!”
Al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushili berkata, “Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim ad- Dauraqi, ia berkata, Abu Ashim menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Muslim Ar-Raqasyi dari kakeknya, Abdul Malik, dari Abi Jarwi al-Mazini, ia berkata, Aku menyaksikan Ali ra. dan az-Zubair ketika keduanya bersepakat -yakni pada peperangan Jamal- Ali ra. Berkata kepada az-Zubair, ‘Demi Allah aku bertanya kepadamu, bukankah engkau mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Engkau akan memerangiku (yakni Ali) sedang engkau berada di pihak yang zhalim ?‘ Az-Zubair berkata, ‘Benar! Aku baru ingat pada saat ini!’ Kemudian ia berpaling. Al-Baihaqi999 meriwayatkan dari al-Hakim dari jalur Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Muslim ar-Raqqasyi dari kakeknya dari Abu Jarwi al-Mazini dari Ali ra. dan az-Zubair.1 Lalu az-Zubair kembali dengan mengendarai tunggangannya sambil membelah barisan pasukan Puteranya, yakni Abdullah bin az-Zubair menahannya dan bertanya, “Ada apa gerangan denganmu?” Az-Zubair berkata, “Ali ra. mengingatkan aku satu hadits yang aku dengar dari Rasulullah saw. Aku mendengar beliau bersabda: ” Engkau akan memeranginya (yakni Ali) sedang engkau zhalim terhadapnya.” Abdullah bin az-Zubair berkata, “Apakah engkau datang untuk ber-perang? Bukankah engkau datang untuk mendamaikan di antara manusia dan agar Allah memperbaiki keadaan mereka melalui dirimu?!”
Az-Zubair berkata, “Aku telah bersumpah untuk tidak memeranginya!” Abdullah bin az-Zubair berkata, “Merdekakan saja budakmu bernama Sarjas dan majulah untuk mendamaikan mereka!” Maka az-Zubair pun membebaskan budaknya bernama Sarjas dan maju ke depan. Ketika orang-orang saling berselisih dalam persoalan ini beliau pergi menunggang kudanya. Ada yang mengatakan bahwa beliau pergi me-ninggalkan medan perang karena melihat Ammar bin Yasir bersama Ali ra., dan beliau telah mendengar Rasulullah saw. erkata kepada Ammar: “Engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.”1000
Beliau khawatir Ammar terbunuh pada peperangan itu. Ibnu Katsir berkata, “Menurutku, hadits yang kami bawakan tersebut kalau shahih dari az-Zubair maka tidak ada yang membuatnya mening-galkan medan pertempuran selain hal tersebut.1001 Sangat mustahil beliau membatalkan sumpahnya dengan kafarat kemudian kembali ke medan perang melawan Ali ra., wallahu a’lam.
12. Terbunuhnya az-Zubair Dan Thalhah
Ketika az-Zubair meninggalkan medan pertempuran pada peperangan Jamal dan singgah di salah satu oase bernama As-Siba’, ia diikuti oleh seo-rang lelaki bernama Amru bin Jarmuz. Ia menyergap az-Zubair tatkala sedang tidur lalu membunuhnya. Adapun Thalhah, pada saat pertempuran berlangsung ia terkena panah tak bertuan yang tidak diketahui dari mana asalnya mengenai kakinya hingga tembus sampai mengenai kudanya. Kuda itu lari tiada terkendali, Thalhah berteriak, “Hai hamba Allah tolonglah aku, hai hamba Allah tolonglah aku!” Salah seorang budaknya mengejar kuda tersebut dan menangkapnya. Thalhah berkata kepadanya, “Cepat bawa aku ke rumah!” Sementara khuffnya. (sejenis sepatu dari kulit) penuh darah. la berkata kepada budaknya, “Naiklah di belakangku!” Hal itu karena darah terus mengalir dan kondisinya sudah lemah! Budak itu membonceng di bela-kangnya lalu membawanya ke sebuah rumah di Bashrah lalu beliau wafat di sana.1002 Ada yang mengatakan bahwa beliau gugur di medan perang. Ali ra. menghampiri jenazah beliau dan sangat terpukul menyaksikannya.1003
13. Situasi Perang Jamal
‘Aisyah ra. ra.. ra. maju ke depan di atas sedekupnya. la memberi Mushaf kepada Ka’ab bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata,” Ajaklah mereka kepada Kitabullah!” Ka’ab bin Sur pun maju ke depan dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya. la disambut oleh bagian depan pasukan Kufah. Pada saat yang bersamaan Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya berada di depan pasukan membunuh siapa saja dari pasukan Bashrah yang dapat mereka bunuh. Mereka tidak membiarkan seorang pun. Ketika mereka meli-hat Ka’ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya dengan anak panah hingga tewas.
Kemudian anak panah mulai menghujani sekedup Aisyah ra.. Ummul Mukminin , Aisyah ra.. berteriak, “Allah! Allah! Ya bunayya, ingatlah Hari Hisab!” la mengangkat tangannya dan melaknat para pembu-nuh Utsman ra.. Orang-orang pun bergemuruh bersamanya dalam doa, hingga gemuruh tersebut sampai telinga Ali ra. ia berkata, “Suara apa itu?” Mereka berkata, “Ummul Mukminin melaknat para pembunuh Utsman ra. dan pendukungnya!” Ali ra. berkata, “Ya Allah laknatlah para pembunuh Utsman ra.!” Mereka terus menghujani sekedup Aisyah ra.. dengan anak panah sehingga bentuk sekedup itu tak ubahnya seperti seekor landak (yakni anak panah yang menancap padanya seperti duri-duri pada tubuh landak, pent.). Aisyah ra.. ra. terus memotivasi pasukan untuk mempertahankan diri dan menghentikan serangan mereka. Mereka terus mendesak hingga medan pertempuran sampai ke tempat Ali bin Abi Thalib ra. berada. Ali ra. berkata kepada puteranya, Muhammad bin al-Hanafiyah, “Cepat maju dengan membawa panji ini!” Namun Muhammad bin al-Hanafiyah tidak sanggup. Maka Ali ra. mengambil panji itu dengan tangannya lalu maju ke depan. Peperangan semakin seru, kadang kala pasukan Bashrah di atas angin dan kadang kala pula pasukan Kufah berada di atas angin. Banyak sekali pasukan yang gugur. Belum pernah ditemukan pertempuran yang banyak menimbulkan korban yang putus tangan dan kakinya selain dalam peperangan ini. ‘Aisyah ra. ra.. terus mendorong pasukannya untuk mengejar para pembunuh Utsman ra.. Prajurit-prajurit yang bertempur mendekati unta (yakni unta yang membawa ‘Aisyah ra. ra..), mereka berkata, “Peperangan ini akan terus berlanjut selagi unta ini masih tegak di sini!” Tali kekang unta pada saat itu ada di tangan Umairah bin Yatsribi, ia termasuk salah seorang jagoan yang kesohor. la tetap mempertahankan tali kekang unta itu hingga tewas terbunuh prajurit yang pemberani dan gagah berani mengkhawatirkan keselamatan ‘Aisyah ra. ra… Saat itu panji dan tali kekang unta hanya dipegang oleh jagoan-jagoan gagah berani yang terkenal keberaniannya. Ia membunuh siapa saja yang mendekat ke unta lalu akhirnya terbunuh. Pada saat itu sebagian dari mereka mencederai salah satu mata Adi bin Hatim. Abdullah bin az-Zubair menderita luka sebanyak tiga puluh tujuh liang pada peperangan Jamal ini1006. Marwan bin al-Hakam juga terluka. Kemudian seorang lelaki menebas kaki unta lalu membunuhnya, akhirnya unta itu roboh di atas tanah. Ada yang mengatakan bahwa yang mengisyaratkan agar membunuh unta itu adalah Ali bin Abi Thalib ra.. Ada yang mengatakan al-Qa’qa’ bin Amru. Tujuannya agar Ummul Mukminin tidak terkena lemparan panah, karena saat itu ia menjadi sasaran tembak oleh para pemanah. Dan agar ia dapat keluar dari medan pertempuran yang telah menelan korban sangat banyak.
Ketika unta tersebut roboh ke tanah, orang-orang yang berada di dekat-nya mundur. Lalu sekedup Aisyah ra.. dibawa, bentuknya sudah seperti duri-duri landak karena saking banyak anak panah yang menancap padanya. Salah seorang penyeru ditugaskan Ali ra. untuk mengumumkan, “Jangan kejar orang yang melarikan diri, jangan dibantai orang yang terluka dan jangan masuk ke dalam rumah-rumah.”1007
Kemudian Ali ra. memerintahkan beberapa orang agar membawa sekedup tersebut keluar dari tumpukan korban-korban yang bergelimpangan. Ali ra. Memerintahkan Muhammad bin Abi Bakar dan Ammar supaya mendirikan kemah untuk ‘Aisyah ra. . Lalu saudara lelakinya, yakni Muhammad bin Abi Bakar datang menemuinya dan bertanya kepadanya,” Adakah engkau menderita luka?” ‘Aisyah . ra.. menjawab, “Tidak! Ada apa gerangan dengan dirimu hai Ibnul Khats’amiyyah?”
Kemudian Amar mengucapkan salam kepada ‘Aisyah ra. ra.., Ammar bertanya, “Bagaimana keadaanmu hai ibunda?” ‘Aisyah ra. ra.. berkata, “Aku bukan ibumu!” Ammar menjawab, “Engkau tetap sebagai ibundaku meskipun engkau tidak suka!”
Lalu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. datang menemui ‘Aisyah ra. ra.. ‘ seraya mengucapkan salam kepadanya, Ali ra. berkata, “Bagaimana kabarmu wahai Ummi?”
“Baik!” jawab ‘Aisyah ra. Ali ra. berkata, “Semoga Allah mengampunimu.” “Dan mengampunimu juga” jawab ‘Aisyah ra.
Kemudian para amir dan tokoh datang menghampiri Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ra.. dan mengucapkan salam kepadanya. Pada malam hari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ra.. memasuki kota Bashrah didampingi saudara lelakinya, Muhammad bin Abi Bakar . Mereka singgah di rumah Abdullah bin Khalaf al-Khuza’i, rumah yang paling besar di Bashrah.
14. Akhir Pertempuran
Ali bin Abi Thalib ra. bermalam di Bashrah selama tiga hari. Beliau menshalatkan korban yang gugur dari kedua belah pihak. Kemudian beliau mengumpulkan barang-barang yang dirampas dari pasukan ‘Aisyah ra. ra.. di markas dan memerintahkan agar dibawa ke Masjid Bashrah. Bagi yang mengenali barangnya ia boleh mengambilnya kembali. Kecuali senjata berlambang khalifah yang terdapat di gudang. Total korban yang gugur pada peperangan Jamal dari kedua belah pihak berjumlah sepuluh ribu jiwa.1009 Lima ribu dari pasukan Ali dan lima ribu dari pasukan ‘Aisyah ra. ra.. . Semoga Allah merahmati mereka dan meridhai para sahabat yang gugur. Beberapa rekan Ali ra. meminta agar membagi-bagikan harta rampasan yang mereka peroleh dari pasukan Thalhah dan az-Zubair. Namun Ali ra. menolaknya. Sebagian pengikut as-Sakziyyah mencela beliau, mereka berkata, “Bagaimana mungkin engkau halalkan kepada kami darah mereka namun tidak engkau halalkan bagi kami harta-harta mereka?” Sampailah perkataan mereka itu kepada Ali ra., beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang bersedia Ummul Mukminin masuk ke dalam bagiannya?”1010 Maka diamlah mereka mendengar ucapan beliau tersebut.
Ketika Ali ra. memasuki kota Bashrah, beliau membagi-bagikan harta dari Baitul Mai kepada pasukannya. Setiap orang mendapat lima ratus dirham.1011 la berkata, “Kalian juga berhak memperoleh bagian sebesar itu dari hadiah-hadiah yang datang dari negeri Syam.” Para pengikutas-Saba’iyyah memprotes kebijakan Ali ra. ini, mereka mengecam beliau dari belakang.
15. Sikap Ali ra. Terhadap Penduduk Bashrah
Ali ra. memasuki kota Bashrah pada hari senin empat belas Jumadil Akhir tahun 36 Hijriyah. Penduduk Bashrah membai’at beliau di bawah panji-panji mereka. Sampai-sampai orang-orang yang terluka dan orang-orang yang meminta perlindungan juga membai’at beliau. Abdurrahman bin Abi Bakrah datang menemui beliau dan berbai’at kepada beliau. Beliau berkata kepadanya, “Di manakah orang yang sakit?” -yakni ayahnya-. Abdurrahman menja-wab, “la sedang sakit wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ia ingin sekali bertemu denganmu.” Ali ra. berkata, “Tuntunlah aku ke tempatnya.” Ali ra. pun pergi menjenguknya. Abu Bakrah -ayah Abdurrahman- meminta udzur kepada beliau dan beliau menerimanya. Ali ra. menawarkannya jabatan sebagai amir Bashrah, namun ia menolak. Abu Bakrah berkata,” Angkatlah seorang lelaki dari keluargamu yang dapat membuat tenang penduduk negeri ini. Abu Bakrah mengisyaratkan agar mengangkat Abdullah bin Abbas , maka Ali ra. Pun mengangkatnya sebagai amir kota Bashrah. Lalu menunjuk Ziyad bin abihi sebagai petugas penarik pajak dan penanggung jawab Baitul Mai. Ali ra. memerintahkan Ibnu Abbas agar mendengar saran-saran Ziyad.
Pada perang Jamal Ziyad mengasingkan diri dan tidak ikut terlibat dalam pepe-rangan. Kemudian Ali ra. mendatangi rumah tempat Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ‘ singgah. Ali ra. meminta izin kepadanya lalu masuk sembari mengucapkan salam kepadanya dan ‘Aisyah ra. ra.. menyambutnya dengan ucapan selamat. Seorang lelaki menyampaikan berita kepada Ali ra., “Wahai Amirul Mukminin, di luar ada dua orang lelaki yang mencaci Aisyah ra.. ra.” Maka Ali ra. Memerintahkan al-Qa’qa’ bin Amru agar mencambuk kedua lelaki itu masing-masing seratus kali cambuk. Lalu ‘Aisyah ra. ra.. bertanya tentang pasukannya yang terbunuh dan pasukan Ali ra. yang terbunuh. Setiap kali disebutkan nama orang-orang yang terbunuh dari kedua belah pihak ‘Aisyah ra. ra.. mendoakan rahmat dan kebaikan untuk mereka. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ra.. hendak meninggalkan kota Bashrah, Ali ra. mengirim segala sesuatu yang diperlukan untuknya, mulai dari kendaraan, perbekalan, barang-barang dan lainnya. Dan beliau mengizinkan pasukan Aisyah ra.. yang selamat untuk kembali bersamanya atau jika mau mereka boleh tetap tinggal di Bashrah. Beliau mengirim saudara lelaki ‘Aisyah ra. Muhammad bin Abi Bakar , untuk menyertainya.
Pada hari keberangkatan, Ali ra. mendatangi rumah tempat ‘Aisyah ra. ra.. menginap, beliau berdiri di depan pintu bersama orang-orang. Kemudian ‘Aisyah ra. keluar dari rumah dalam sedekupnya, beliau mengucapkan selamat tirtggal kepada mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka. ‘Aisyah ra. ra.. berkata, “Wahai bunayya, janganlah saling mencela di antara kalian. Demi Allah sesungguhnya apa yang telah terjadi antara aku dan Ali ra. hanyalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan ipar-iparnya. Sesungguhnya, meski aku dahulu mencelanya namun sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang terpilih.”
Ali ra. berkata, “Ia benar, demi Allah tidak ada masalah yang terjadi antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan. Sesungguhnya ia adalah istri nabi kalian , di dunia dan di akhirat.” Kemudian Ali ra. berjalan mengiringinya sampai beberapa mil sembari mengucapkan selamat jalan kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu awal bulan Rajab tahun 36 Hijriyah. ‘Aisyah ra. ra.. dan rombongan berangkat me-nuju Makkah kemudian ia menetap di sana hingga musim haji pada tahun itu juga kemudian ia kembali ke Madinah. Itulah ringkasan kisah yang disebutkan oleh Abu Ja’ far Ibnu Jarir dari para ulama sejarah. Tidak seperti yang disebutkan oleh para pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) dari kalangan Syi’ah dan lainnya yang menyebarkan haditshadits palsu atas nama sahabat. Dan kisah-kisah palsu yang mereka nukil tentang masalah ini. Jika mereka diajak kepada kebenaran yang nyata mereka berpaling sembari berkata, “Bagi kalian sejarah kalian dan bagi kami sejarah kami.” Jikalau begitu kami katakan kepada mereka: “Kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” (A\-Qashash: 55). Yang benar adalah Hakim bin ‘Alqamah, demikan tercantum dalam Tarikh ath-Thabari, 4/421, silahkan lihat biografinya dalam kitab al-Ishabah, 5/126.
Biografi Ali Bin Abi Tholib & Peristiwa Yang Terjadi Pada Masanya
Biografi Ali Bin Abi Tholib & Peristiwa Yang Terjadi Pada Masanya